Rabu, 22 Mei 2013

Bekas Murid



            Kereta api Argo Dwipangga akan berangkat meninggalkan stasiun balapan. Bu Mariyati mencoba membenarkan tempat duduknya. Bersandar di kursi dan melihat ke atas. Dia memang ingin bisa tidur nyenyak, oleh Karena itu dia memilih untuk naik kereta api. Sebenarnya anaknya Seno menyarankan untuk supaya naik pesawat agar lebih cepat sampai di Jakarta. Akan tetapi Bu Mariyati menolak, katanya takut. Jangan-jangan nanti pesawatnya jatuh, seperti yang sering terjadi selama ini.
            Maka dari itu dia memutuskan untuk membeli karcis kereta Argo Dwipangga, dan sore ini berangkat ke Jakarta. Menurut rencana minggu depan dia akan mengantarkan anak laki-lakinya itu menikah dengan salah satu wanita dari Jakarta.
            Bu Mariyati merasa sudah tenang hatinya. Ketiga anaknya sudah berhasil semua. Yang nomor 1 Wahyuni jadi dosen di makasar, suaminya juga orang sana. Yang nomor 2 Broto jadi dokter dan tinggal di Surabaya. Kemudian yang terakhir Seno, sekarang kerja di kantor indosat, dan sudah punya rumah di Bekasi. Ketiganya sudah sarjana dan pekerjaan tetap.
            Kalau ingat masalah tadi, Bu Mariyati langsung pada Pak Satmoko, pendampingnya yang sudah habis 1000 harinya tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru dulu, memang sama-sama punya harapan semoga anak-anaknya nanti sama-sama jadi sarjana dan punya pekerjaan semua.
            “Permisi, anda Bu Mariyati ya?” kata salah satu perempuan yang menggunakan kacamata itu menghentikan lamunannya Bu Mariyati.
            “Kamu siapa ya mbak, saya kok sedikit lupa?” lanjut Bu Mariyati sambil melihat perempuan dan mengingat-ngingat.
            “Lupa sama saya ya Bu? Saya Endang Saraswati, muridnya ibu dulu ketika masih SMP Madiyataman.”
            “Oh iya ya. Maaf lo mbak saya ini sudah tua, jadi tidak hafal satu per satu.”
            Memang Bu Mariyati itu dulu pernah menjadi guru di SMP Madiyataman. Bahkan ketika purna tugas, dia juga pernah menjadi kepala sekolah di tempat tersebut. Jadi tidak aneh lagi kalau muridnya Bu Mariyati beribu-ribu. Jadi sudah wajar kalau ibu tidak hafal murid-muridnya satu per satu.
            “Permisi dek, apakah saya bisa bertukar kursi dengan kamu? Saya ingin dekat dengan bekas guru saya dulu. Saya sudah kangen sekali.” Kata perempuan yang mengaku Endang Saraswati itu kepada penumpang yang duduk didekat Bu Mariyati.
            “Oh silahkan, tidak apa-apa mbak,” jawab anak muda itu sambil meninggalkan kursinya. Terus duduk di kursi yang tadi di duduki Endang Saraswati.
            “Terima kasih, dek. Ibu Guru saya ini banyak dan sangat besar jasanya kepada negeri. Menurut bekas muridnya itu yang sekarang sudah ada yang menjadi menteri, gubernur, atau bupati,” menurut Endang Saraswati sambil duduk di sebelah bekas gurunya itu.
            Sebenarnya hatinya mendengarkan perincian dari murid yang seperti tadi, tapi Bu Mariyati juga menjadi salah tingkah dan banyak orang yang terlanjur melihat dia.
            “Terus sekarang kamu kerja dikantor apa? Tempatnya dimana?” Bu Mariyati mencoba mengganti pembicaraan.
            Dengan terang-terangan Endang Saraswati cerita kalau dianya menjadi pengusaha. Bu Mariyati langsung gembira sekali hatinya, setelah tahu bekas muridnya yang cantik rupanya ini sekarang sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta, setelah keduanya sama-sama ngobrol, kompak bersama.
            “Nanti pokoknya Bu Mar harus mampir ke rumah saya di Kemang, lo bu. Nanti saya ajak tidur di villa saya di puncak,” kata Endang berbicara dengan memberikan kartu namanya.
            “Ya semoga saja nanti setelah perkawinannya adikmu Seno, aku tidak ingin cepat-cepat kembali ke Solo.”
            Dikarenakan keasyikan ngobrol tidak terasa kereta api sudah sampai di Cirebon. Bu Mariyati yang termasuk sudah tua itu matanya terasa perih, ingin di pejamkan. Tidak lama-lama kemudian pensiunan guru itu sudah tidur.
            Besoknya masuk stasiun jati Negara. Bu Mariyati menyiapkan barang bawaannya dan memang Seno sudah berjanji akan menjemputnya. Endang Saraswati ikut membawakan kopernya, dibawa ke dekat pintu.
            “Hati-hati ya bu, sekarang ada di Jakarta tidak lagi di Solo. Kedatangan ibu di rumah saya sangat saya nantikan,” kata Endang Saraswati ketika bekas gurunya turun dari kereta api. “iya mbak lain waktu aku akan mampir. Terima kasih, semalaman kamu mau menemani ibi ngobrol,”
            Setelah turun dari kereta api, Bu Mariyati kemudian melihat kekanan dan kekiri, mencari anaknya Seno yang katanya akan menjemputnya di stasiun. Ternyata Seno sudah menunggu di peron. Setelah bersalaman dan sungkem, Seno mengajak ibunya ke parkiran, menghampiri mobil yang diparkirnya disana.
            Begitu kagetnya Bu Mariyati setelah membuka kopernya. Ternyata kotak yang berisi perhiasan yang dibawanya dari solo sudah tidak ada di tempat! Maunya perhiasan lengkap yang beratnya hampir 1 ons itu akan dipakai pelengkap di acara lamarannya Seno besok. Saya kaget lagi, setelah Bu Mariyati tahu kalau tas koper itu sobek seperti baru saja teriris.
            Dalam hati Bu Mariyati merasa curiga terhadap Endang Saraswati. Bisa saja muridnya tadi yang melakukan ketika dia tidur. Tetapi apakah bekas muridnya itu tega berbuat seperti itu terhadap bekas gurunya? Apalagi menurut cerita, Endang Saraswati  itu sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Ah, tapi  Bu Mariyati kemudian ingat pada apa yang sudah di katakana bekas muridnya tadi, ini Jakarta bukan solo!
            Siangnya Bu Mariyati            mengajak anaknya mencari rumah Endang Saraswati seperti yang tertulis di kartu nama. Akan tetapi setelah sampai di tempat tujuan, ternyata rumah itu bukan milik muridnya tadi. Bahkan yang punya rumah kenal saja tidak.
            “Yang tinggal di tempat ini orang bule. Kalau anda kurang percaya silahkkan tunggu, biasanya jam 3 sudah pulang dari kerja,” kata satpam yang menjaga rumah itu dengan berbahasa jawa.
            Satpam itu tidak bohong. Kemudian Bu Mariyati mohon pamit. Anaknya di ajak ke kantor yang katanya tempat bekas muridnya itu bekerja. Akan tetapi di kantor itu tidak ada yang namanya Endang Saraswati. Yang bertugas membuatkan minuman saja tidak ada apalagi atasannya, tidak ada yang namanya Endang Saraswati!
            Tiba-tiba saja Bu Mariyati lemas dia masih terbayang senyum manis, dan lincahnya perempuan yang mengaku bekas muridnya tadi.
            “Jadi ceritanya ibu ini tadi habis di bohongi ta?” kata anaknya Seno, didalam mobil ketika pulang, dan yang pasti tidak ada yang bisa mendengar lagi.
            Bu Mariyati diam saja. Hatinya terasa perih mengingat semua yang terjadi tadi. Dia tidak menyangka kalau bekas muridnya yang menjadi penipu. Tapi sebagai orang tua, Bu Mariyati juga menyadari memang telur satu tempat itu belum tentu bisa menetas semua. Di dalam batin hanya bisa berdo’a, semoga bekas muridnya itu mendapat hidayah dari Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar