Kereta
api Argo Dwipangga akan berangkat meninggalkan stasiun balapan. Bu Mariyati
mencoba membenarkan tempat duduknya. Bersandar di kursi dan melihat ke atas.
Dia memang ingin bisa tidur nyenyak, oleh Karena itu dia memilih untuk naik
kereta api. Sebenarnya anaknya Seno menyarankan untuk supaya naik pesawat agar
lebih cepat sampai di Jakarta. Akan tetapi Bu Mariyati menolak, katanya takut.
Jangan-jangan nanti pesawatnya jatuh, seperti yang sering terjadi selama ini.
Maka
dari itu dia memutuskan untuk membeli karcis kereta Argo Dwipangga, dan sore
ini berangkat ke Jakarta. Menurut rencana minggu depan dia akan mengantarkan
anak laki-lakinya itu menikah dengan salah satu wanita dari Jakarta.
Bu
Mariyati merasa sudah tenang hatinya. Ketiga anaknya sudah berhasil semua. Yang
nomor 1 Wahyuni jadi dosen di makasar, suaminya juga orang sana. Yang nomor 2
Broto jadi dokter dan tinggal di Surabaya. Kemudian yang terakhir Seno,
sekarang kerja di kantor indosat, dan sudah punya rumah di Bekasi. Ketiganya
sudah sarjana dan pekerjaan tetap.
Kalau
ingat masalah tadi, Bu Mariyati langsung pada Pak Satmoko, pendampingnya yang
sudah habis 1000 harinya tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru dulu,
memang sama-sama punya harapan semoga anak-anaknya nanti sama-sama jadi sarjana
dan punya pekerjaan semua.
“Permisi,
anda Bu Mariyati ya?” kata salah satu perempuan yang menggunakan kacamata itu
menghentikan lamunannya Bu Mariyati.
“Kamu
siapa ya mbak, saya kok sedikit lupa?” lanjut Bu Mariyati sambil melihat
perempuan dan mengingat-ngingat.
“Lupa
sama saya ya Bu? Saya Endang Saraswati, muridnya ibu dulu ketika masih SMP
Madiyataman.”
“Oh
iya ya. Maaf lo mbak saya ini sudah tua, jadi tidak hafal satu per satu.”
Memang
Bu Mariyati itu dulu pernah menjadi guru di SMP Madiyataman. Bahkan ketika
purna tugas, dia juga pernah menjadi kepala sekolah di tempat tersebut. Jadi
tidak aneh lagi kalau muridnya Bu Mariyati beribu-ribu. Jadi sudah wajar kalau
ibu tidak hafal murid-muridnya satu per satu.
“Permisi
dek, apakah saya bisa bertukar kursi dengan kamu? Saya ingin dekat dengan bekas
guru saya dulu. Saya sudah kangen sekali.” Kata perempuan yang mengaku Endang
Saraswati itu kepada penumpang yang duduk didekat Bu Mariyati.
“Oh
silahkan, tidak apa-apa mbak,” jawab anak muda itu sambil meninggalkan
kursinya. Terus
duduk di kursi yang tadi di duduki Endang Saraswati.
“Terima kasih, dek. Ibu Guru saya
ini banyak dan sangat besar jasanya kepada negeri. Menurut bekas muridnya itu
yang sekarang sudah ada yang menjadi menteri, gubernur, atau bupati,” menurut
Endang Saraswati sambil duduk di sebelah bekas gurunya itu.
Sebenarnya hatinya mendengarkan
perincian dari murid yang seperti tadi, tapi Bu Mariyati juga menjadi salah
tingkah dan banyak orang yang terlanjur melihat dia.
“Terus sekarang kamu kerja dikantor
apa? Tempatnya dimana?” Bu Mariyati mencoba mengganti pembicaraan.
Dengan terang-terangan Endang
Saraswati cerita kalau dianya menjadi pengusaha. Bu Mariyati langsung gembira
sekali hatinya, setelah tahu bekas muridnya yang cantik rupanya ini sekarang
sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta, setelah keduanya sama-sama ngobrol,
kompak bersama.
“Nanti pokoknya Bu Mar harus mampir ke
rumah saya di Kemang, lo bu. Nanti saya ajak tidur di villa saya di puncak,”
kata Endang berbicara dengan memberikan kartu namanya.
“Ya
semoga saja nanti setelah perkawinannya adikmu Seno, aku tidak ingin
cepat-cepat kembali ke Solo.”
Dikarenakan
keasyikan ngobrol tidak terasa kereta api sudah sampai di Cirebon. Bu Mariyati
yang termasuk sudah tua itu matanya terasa perih, ingin di pejamkan. Tidak lama-lama
kemudian pensiunan guru itu sudah tidur.
Besoknya
masuk stasiun jati Negara. Bu Mariyati menyiapkan barang bawaannya dan memang
Seno sudah berjanji akan menjemputnya. Endang Saraswati ikut membawakan
kopernya, dibawa ke dekat pintu.
“Hati-hati
ya bu, sekarang ada di Jakarta tidak lagi di Solo. Kedatangan ibu di rumah saya
sangat saya nantikan,” kata Endang Saraswati ketika bekas gurunya turun dari
kereta api. “iya mbak lain waktu aku akan mampir. Terima kasih, semalaman kamu
mau menemani ibi ngobrol,”
Setelah
turun dari kereta api, Bu Mariyati kemudian melihat kekanan dan kekiri, mencari
anaknya Seno yang katanya akan menjemputnya di stasiun. Ternyata Seno sudah
menunggu di peron. Setelah bersalaman dan sungkem, Seno mengajak ibunya ke
parkiran, menghampiri mobil yang diparkirnya disana.
Begitu
kagetnya Bu Mariyati setelah membuka kopernya. Ternyata kotak yang berisi
perhiasan yang dibawanya dari solo sudah tidak ada di tempat! Maunya perhiasan
lengkap yang beratnya hampir 1 ons itu akan dipakai pelengkap di acara
lamarannya Seno besok. Saya kaget lagi, setelah Bu Mariyati tahu kalau tas
koper itu sobek seperti baru saja teriris.
Dalam
hati Bu Mariyati merasa curiga terhadap Endang Saraswati. Bisa saja muridnya
tadi yang melakukan ketika dia tidur. Tetapi apakah bekas muridnya itu tega
berbuat seperti itu terhadap bekas gurunya? Apalagi
menurut cerita, Endang Saraswati itu
sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Ah, tapi Bu Mariyati kemudian ingat pada apa yang
sudah di katakana bekas muridnya tadi, ini Jakarta bukan solo!
Siangnya Bu Mariyati mengajak anaknya mencari rumah
Endang Saraswati seperti yang tertulis di kartu nama. Akan tetapi setelah
sampai di tempat tujuan, ternyata rumah itu bukan milik muridnya tadi. Bahkan
yang punya rumah kenal saja tidak.
“Yang tinggal di tempat ini orang
bule. Kalau anda kurang percaya silahkkan tunggu, biasanya jam 3 sudah pulang
dari kerja,” kata satpam yang menjaga rumah itu dengan berbahasa jawa.
Satpam itu tidak bohong. Kemudian Bu
Mariyati mohon pamit. Anaknya di ajak ke kantor yang katanya tempat bekas
muridnya itu bekerja. Akan tetapi di kantor itu tidak ada yang namanya
Endang Saraswati. Yang bertugas membuatkan minuman saja tidak ada apalagi
atasannya, tidak ada yang namanya Endang Saraswati!
Tiba-tiba
saja Bu Mariyati lemas dia masih terbayang senyum manis, dan lincahnya
perempuan yang mengaku bekas muridnya tadi.
“Jadi
ceritanya ibu ini tadi habis di bohongi ta?” kata anaknya Seno, didalam mobil
ketika pulang, dan yang pasti tidak ada yang bisa mendengar lagi.
Bu
Mariyati diam saja. Hatinya terasa perih mengingat semua yang terjadi tadi. Dia
tidak menyangka kalau bekas muridnya yang menjadi penipu. Tapi sebagai orang
tua, Bu Mariyati juga menyadari memang telur satu tempat itu belum tentu bisa
menetas semua. Di dalam batin hanya bisa berdo’a, semoga bekas muridnya itu
mendapat hidayah dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar